Minggu, 27 Desember 2015

Memperbaharui Industri Penerbangan di Indonesia


                Sudah menjadi fakta umum bahwa transportasi udara merupakan transportasi yang saat ini sudah banyak sekali penerbanganya. Saat ini seseorang memilih menggunakan jasa transportasi udara memiliki beberapa alasan kepentingan, diantaranya untuk kepentingan bisnis, kepentingan parawisata dan berbagai kepentingan lainnya. Perkembangan dang pertumbuhan industri penerbangan tersebut tidak terlepas dari peningkatan jumlah pengguna jasa transportasi udara. Dilihat dari aspek penyelenggaraan penerbangan terdapat dua bentuk kegiatan penerbangan, yaitu penerbangan komersil dan penerbangan bukan komersil. Penerbangan komersil atau niaga merupakan bentuk transportasi udara yang mengenakan biaya bagi penggunanya.


            Perkembangan jumlah perusahaan penerbangan di satu sisi menguntungkan bagi para pengguna jasa transporatsi udara (penumpang dan pemilik kargo) karena akan banyak pilihan. Perusahaan-perusahaan tersebut bersaing untuk untuk menarik penumpang sebanyakbanyaknya dengan menawarkan tarif yang lebih murah atau menawarkan berbagai bonus. Namun di sisi lain, dengan tarif yang murah tersebut sering menurunkan kualitas pelayanan(service), bahkan yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah akan menyebabkan berkurangnya kualitas pemeliharaan (maintenance) pesawat sehingga rawan terhadap keselamatan penerbangan dan akan berdampak kurang baik terhadap keamanan, kenyamanan dan perlindungan konsumen. Oleh karena itu alasan inilah yang akan mendasari saya untuk memperbaiki sarana transportasi udara atau penerbangan agar tidak terjadi lagi kecelakaan-kecelakaan penerbangan yang sering terjadi belakangan ini khususnya di Indonesia.

§  Asal Mula Transportasi Udara di Indonesia
            Transportasi adalah pemindahan manusia atau barang dari satu tempat ke tempat lainnya dengan menggunakan sebuah kendaraan yang digerakkan oleh manusia atau mesin. Transportasi udara merupakan transportasi yang membutuhkan banyak biaya untuk pemakaiannya. Selain karena memiliki teknologi yang canggih, transportasi udara merupakan alat transportasi tercepat dibandingkan jenis transportasi lainnya.
Sejak zaman penjajahan pemerintah kolonial Belanda berlangsung, pemerintah Belanda telah melakukan serangkaian aktivitas yang berkaitan dengan lisensi serta evaluasi teknis dan keselamatan untuk pesawat yang dioperasikan di Indonesia. Pada tahun 1914 pendirian bagian Uji Terbang di Surabaya dengan tugas meneliti prestasi terbang pesawat udara untuk daerah tropis dan saat itu masyarakat Indonesia sudah terlibat memodifikasi sebuah pesawat yang dilakukan disebuah rumah di daerah Cikapundung sekarang.
Pada periode 1937 pengusaha pribadi berminat untuk membuat pesawat terbang. Delapan tahun sebelum kemerdekaan atas permintaan seorang pengusaha, serta hasil rancangan LW. Walraven dan MV. Patist putera-putera Indonesia yang dipelopori Tossin membuat pesawat terbang di salah satu bengkel di Jl. Pasirkaliki Bandung dengan nama PK.KKH.
Pesawat ini sempat menggegerkan dunia penerbangan waktu itu karena kemampuannya terbang ke Belanda dan daratan Cina pergi pulang yang diterbang pilot berkebangsaan Perancis, A. Duval.
Makin terbuka kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkan impiannya membuat pesawat terbang sesuai dengan rencana dan keinginan sendiri. Kesadaran bahwa Indonesia sebagai negara kepulauan yang luas akan selalu memerlukan perhubungan udara secara mutlak sudah mulai tumbuh sejak waktu itu, baik untuk kelancaran pemerintahan, pembangunan ekonomi dan pertahanan keamanan.
Pada masa perang kemerdekaan kegiatan kedirgantaraan yang utama adalah sebagai bagian untuk memenangkan perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan, dalam bentuk memodifikasi pesawat yang ada untuk misi-misi tempur.
Berdasarkan SK Presiden RI- Presiden Soekarno, didirikanlah jurusan Teknik Penerbangan ITB sebagai bagian dari bagian mesin. Pelopor pendidikan tinggi Teknik Penerbangan ini adalah Oetarjo Diran dan Liem Keng Kie. Kedua tokoh ini adalah bagian dari program pengiriman siswa ke luar negeri (Eropa dan Amerika) oleh Pemerintah RI yang berlangsung sejak tahun 1951. Usaha-usaha mendirikan industri pesawat terbang memang sudah disiapkan sejak 1951, ketika sekelompok mahasiswa Indonesia dikirim ke Belanda untuk belajar konstruksi pesawat terbang dan kedirgantaraan di TH Delft atas perintah khusus Presiden RI pertama. Pengiriman ini berlangsung hingga tahun 1954. Dilanjutkan tahun 1954 - 1958 dikirim pula kelompok mahasiswa ke Jerman, dan antara tahun 1958 - 1962 ke Cekoslowakia dan Rusia.
Sementara itu upaya-upaya lain untuk merintis industri pesawat terbang telah dilakukan pula oleh putera Indonesia - B.J. Habibie - di luar negeri sejak tahun 1960an sampai 1970an. Sebelum ia dipanggil pulang ke Indonesia untuk mendapat tugas yang lebih luas. Di tahun 1961, atas gagasan BJ. Habibie diselenggarakan Seminar Pembangunan I se Eropa di Praha, salah satu adalah dibentuk kelompok Penerbangan yang di ketuai BJ. Habibie.Sejarah transportasi udara di Indonesia  terkait dengan sejarah kemerdekaan. Untuk kemudahan transportasi, pada 1948, mantan presiden Soekarno membeli dua pesawat tipe DC-3 dari Singapura. Pembelian pesawat tersebut didanai para pengusaha asal Aceh. Wilayah Aceh kala itu merupakan bagian Indonesia yang belum tersentuh Belanda.
Sebagai bentuk penghargaan kepada Aceh, dua pesawat tersebut dinamai RI-001 Seulawah Agam dan RI-002 Seulawah Inong. Pesawat tersebut melakukan penerbangan pertama pada 26 Januari 1949 dengan rute penerbangan Calcutta-Rangoon. Kedua pesawat tersebut menjadi cikal bakal perusahaan penerbangan pertama tanah air yaitu Garuda Indonesia.
Pada 26 April 1976 industri pesawat terbang itu berkembang menjadi PT. Industri Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN) yang didirikan dengan DR. B.J. Habibie. Salah satu hasil karya IPTN adalah prototipe pesawat turbo N-250 yang pertama kali terbang selama 55 menit, pada 10 Agustus 1995. Namun industri pesawat terbang ini harus berhenti karena kekurangan dana akibt krisis moneter pada 1997.
Sejalan dengan prestasi yang sudah diperoleh dan untuk memungkinkannya untuk mengembangkan lebih cepat, berdasarkan Kepala Staf Angkatan bahasa Indonesia Keputusan No Air 488, Agustus, 1960 Lembaga Persiapan Industri Penerbangan (LAPIP) atau Badan untuk Persiapan Industri penerbangan karena itu didirikan. Diresmikan pada 16 Desember 1961, tubuh memiliki fungsi mempersiapkan pembentukan sebuah industri penerbangan dengan kemampuan untuk mendukung kegiatan penerbangan nasional di Indonesia.
      Berkaitan dengan ini, pada tahun 1961 LAPIP menandatangani perjanjian kerjasama dengan CEKOP, sebuah industri pesawat terbang Polandia, untuk membangun industri pesawat terbang di Indonesia. Kontrak meliputi pembangunan fasilitas MANUFAKTUR pesawat terbang, pelatihan SDM dan memproduksi, di bawah lisensi, PZL-104 Wilga, yang kemudian dikenal sebagai Gelatik (beras burung). Pesawat yang serial diproduksi di 44 unit dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan pertanian, transportasi ringan dan aero-club.
      Pada periode yang sama hampir 1965, melalui Keputusan Presidencial, KOPELAPIP (Komando Pelaksana Industri Pesawat Terbang) atau Command Eksekutif Penyusunan Aviation Industry dan PN. Industri Pesawat Terbang Berdikari (Berdikari Aircraft Industry) didirikan.
      Pada bulan Maret 1966, Nurtanio meninggal saat penerbangan pengujian pesawat terbang, dan dalam rangka memperingati kontribusi yang berharga untuk negara dan bangsa, KOPELAPIP dan PN. Industri Pesawat Terbang Berdikari kemudian digabungkan ke LIPNUR / Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio Nurtanio atau Lembaga Industri Penerbangan. Dalam LIPNUR pengembangan lebih lanjut menghasilkan pesawat latih dasar LT-200 yang disebut dan lokakarya dibangun untuk setelah-penjualan-layanan, pemeliharaan dan perbaikan & overhaul.
      Pada tahun 1962, berdasarkan dengan Keputusan Presidencial, para Teknik Penerbangan ITB (ITB Penerbangan Bagian Teknik) didirikan sebagai bagian dari Departemen Mesin yang tersedia. Oetarjo Diran dan Liem Keng Kie adalah perintis dari bagian penerbangan. Kedua tokoh di antara mereka termasuk dalam Program Beasiswa Overseas Student. Dimulai pada tahun 1958, melalui program ini, jumlah mahasiswa Indonesia dikirim ke luar negeri (Eropa dan Amerika Serikat).
      Sementara itu beberapa upaya lain dalam merintis pendirian industri pesawat terbang juga telah terus dilakukan oleh pemuda Indonesia - BJ Habibie - dari tahun 1964 sampai tahun 1970-an. Lalu didirikanlah IPTN, ada beberapa faktor yang mempengaruhi orang Indonesia untuk membangun pesawat dan mendirikan sebuah industri pesawat terbang di Indonesia yaitu, beberapa orang Indonesia yang memiliki penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk membangun pesawat dan industri pesawat terbang, beberapa orang Indonesia yang, di samping menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan mereka juga berdedikasi tinggi untuk memanfaatkan keahlian mereka untuk pembentukan sebuah industri pesawat terbang, beberapa orang Indonesia yang ahli dalam pemasaran dan penjualan pesawat untuk baik nasional maupun internasional; kemauan politik dari Pemerintah yang berkuasa.
   Itu semua dimulai dengan Bacharuddin Jusuf Habibie, pria yang lahir di Pare-pare, Sulawesi Selatan (Sulawesi), pada tanggal 25 Juni 1936. Dia lulus dari Teknik Aachen Belajar Tinggi, Departemen Konstruksi Pesawat, dan kemudian bekerja di MBB (Masserschmitt Bolkow Blohm), industri pesawat terbang di Jerman sejak 1965.
      Ketika ia hendak mendapatkan gelar doktornya, pada tahun 1964, ia memiliki yang kuat bersedia untuk kembali ke negaranya untuk berpartisipasi dalam program pembangunan Indonesia di bidang industri penerbangan. Tetapi manajemen KOPELAPIP menyarankan dia untuk terus mencari lebih banyak pengalaman, sambil menunggu kemungkinan membangun industri pesawat terbang. Pada tahun 1966, ketika Adam Malik, Menteri Luar Negeri Indonesia mengunjungi Jerman, ia meminta Habibie untuk berkontribusi pikirannya untuk realisasi Pembangunan Indonesia.
      Menyadari bahwa usaha pendirian industri pesawat terbang tidak akan mungkin dilakukan oleh dia sendiri, Habibie memutuskan untuk mulai merintis untuk mempersiapkan tenaga kerja terampil tinggi yang pada waktu yang ditentukan bisa setiap saat akan digunakan oleh industri pesawat terbang masa depan di Indonesia. Segera Habibie membentuk tim sukarela. Dan di awal 1970 tim dikirim ke Jerman untuk mulai bekerja dan belajar ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang penerbangan di HFB / MBB, di mana Habibie bekerja, untuk melaksanakan perencanaan awal mereka.
      Pada periode yang sama, kegiatan serupa juga dirintis oleh Pertamina (Bahasa Indonesia Oil Company) dalam kapasitasnya sebagai agen pembangunan Indonesia. Dengan kapasitas seperti Pertamina berhasil membangun Industri Krakatau Steel. Ibnu Sutowo, kemudian Dirut Pertamina memberikan kontribusi pemikirannya bahwa transfer teknologi proses dari negara maju harus dilakukan dengan konsep yang jelas dan nasional yang berorientasi.
      Pada awal Desember 1973, Ibnu Sutowo bertemu dengan Habibie di Dusseldorf, Jerman, di mana dia memberikan penjelasan yang rumit untuk Habibie tentang Pembangunan Indonesia, Pertamina dengan mimpi pendiri industri pesawat terbang di Indonesia. Hasil dari pertemuan tersebut adalah penunjukan Habibie sebagai Penasihat Pertamina Presiden, dan ia diminta untuk segera kembali ke Indonesia.
      Pada awal Januari 1974, menentukan langkah menuju pendirian industri pesawat telah diambil. Realisasi pertama adalah pembentukan sebuah divisi baru yang khusus dalam teknologi canggih dan teknologi penerbangan urusan. Dua bulan setelah pertemuan Dusseldorf, pada 26 Januari 1974 Habibie dipanggil oleh Presiden Soeharto. Pada pertemuan tersebut Habibie ditunjuk sebagai penasehat Presiden di bidang teknologi. Ini adalah hari pertama Habibie memulai misi resminya.
      Pertemuan-pertemuan ini menghasilkan kelahiran Divisi (Advanced Technology & Teknologi Penerbangan Pertamina) ATTP yang menjadi tonggak untuk pembentukan BPPT dan bagian dari IPTN. Pada bulan September 1974, ATTP menandatangani perjanjian dasar kerjasama lisensi dengan MBB, Jerman dan CASA, Spanyol untuk produksi helikopter BO-105 dan pesawat sayap NC-212 tetap.
Selama 24 tahun IPTN relative berhasil melakukan transformasi teknologi, sekaligus menguasai teknologi kedirgantaraan dalam hal desain, pengembangan serta pembuatan pesawat komuter regional kelas kecil dan sedang. IPTN meredefinisi diri kedalam “DIRGANTARA 200” dengan melakukan orientasi bisnis, dan strategi baru menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi. Untuk itu IPTN melaksanakan program restrukturisasi meliputi reorientasi bisnis serta penataan kembali sumber daya manusia yang memfokuskan diri pada pasar dan misi bisnis.

§  Kondisi Perkembangan Penerbangan di Indonesia saat ini
            Moda transportasi pesawat terbang memang terbilang nyaman dan efisien dari segi waktu karena dapat memotong waktu perjalanan Anda lebih cepat daripada harus menempuhnya dengan transportasi darat yang cenderung memakan waktu lebih lama. Selain itu, bila sering berpergian keluar negeri, alternatif transportasi dengan pesawat terbang akan lebih efisien dan murah. Namun belakangan ini penerbangan nasional yang sempat diwarnai dengan banyaknya kecelakaan, membuat citra penerbangan Indonesia         jatuh akibat pengawasan yang kendur. Pascaderegulasi yang membuka lebar peran swasta, jumlah penumpang dan kargo domestik meningkat pesat, dan mengakibatkan aktivitas perjalanan udara yang melonjak sekaligus mendorong tingkat kepadatan bandara dengan pergerakan penumpang yang semakin padat.
            Demikian juga dengan tugas seorang pilot, padatnya lalulintas penerbangan di Indonesia sering memaksa pilot untuk mengambil resiko yang tak perlu. Mereka juga mengeluhkan teknologi pengawasan lalulintas udara di Indonesia yang sudah usang dan layak diganti. Tak luput juga kondisi bandara yang sangat ramai seperti terminal bus. Kesibukan terlihat jelas hampir disemua terminal yang ada.  Tidak dipungkiri, dalam beberapa tahun terakhir jasa angkutan udara laris manis di dalam negeri. Semakin banyak orang Indonesia yang memilih bepergian menggunakan burung besi ketimbang angkutan darat ataupun laut. Salah satu alasannya, kemampuan ekonomi masyarakat yang meningkat dan daya beli yang semakin kuat.
            Ada faktor lain turut berperan mengangkat angkutan udara menjadi primadona transportasi saat ini. Harga tiket pesawat tak lagi semahal dulu dan bisa dijangkau masyarakat. Banyak maskapai menawarkan penerbangan murah untuk menarik minat masyarakat. Tidak heran jika kini suasana bandara penuh sesak dan terlihat kumuh lantaran banyak orang
            Bisnis industri penerbangan nasional memang tengah terbang tinggi. Dalam kurun waktu dua tahun terakhir, pengguna jasa penerbangan naik 19 persen per tahun. Sejalan dengan tingginya permintaan akan jasa penerbangan, akhirnya muncul banyak maskapai penerbangan baru di tengah eksistensi maskapai yang sudah ada.
            Maskapai penerbangan asing pun berbondong-bondong masuk ke industri penerbangan Indonesia. Salah satu alasannya, potensi pasar penerbangan nasional yang sangat besar. Di balik geliat pertumbuhan bisnis penerbangan yang tinggi, terselip segudang permasalahan. Tingginya pertumbuhan bisnis penerbangan tidak dibarengi dengan kesiapan infrastruktur dan faktor penunjang lainnya.
            Asosiasi maskapai penerbangan Indonesia atau Indonesia National Air Carriers Association (INACA) punya catatan permasalahan dalam dunia penerbangan nasional. Sejauh ini, Jakarta masih jadi urat nadi industri penerbangan domestik. Hampir 50 persen penerbangan nasional berasal dari Jakarta. bicara soal kondisi bandara di Indonesia, maskapai penerbangan langsung fokus pada kondisi Bandara Soekarno Hatta yang menyita perhatian lantaran sudah terlalu sibuk dan padat, hingga mirip terminal bus yang dipenuhi angkutan dan penumpang.
            Permasalahan juga terlihat dari infrastruktur pendukung penerbangan. Bukan rahasia lagi jika beberapa bandara di Indonesia kerap mengalami mati radar dan listrik padam, Imbasnya jelas, penerbangan menjadi terganggu.

§  Memperbaharui Industri Penerbangan Indonesia
            Melihat semua permasalahan industri penerbangan di Indonesia pada saat ini, inilah yang mendasari saya untuk memperbaharui atau memaksimalkan kinerja industri penerbangan di Indonesia. Transportasi penerbangan di Indonesia sudah berkali-kali mengalami kecelakaan, dan penyebab kecelakaan tersebut bermacam-macam, ada human error, kondisi cuaca buruk serta kondisi landasa pesawaat yang kurang baik. Mungkin salah satu dari itu yang menyebabkan kecelakaan pesawat terjadi.
            Melihat kecelakaan pesawat yang terjadi belakangan ini saya pun tertarik untuk mengetahui alasannya, apakah karena faktor SDM yang kurang ataupun fasilitas yang sudah usang yang bisa berpengaruh terhadap kondisi penerbangan di Indonesia. Mungkin saat saya nanti sudah lulus teknik industri dan bisa menjadi salah satu ketua dari maskapai penerbangan di Indonesia, saya akan lebih giat lagi mendorong sekolah-sekolah penerbangan di Indonesia dan tentunya harus merakyat. Jangan hanya orang-orang yang memiliki uang saja yang bisa menikmati sekolah tersebut, tetapi juga putra-putra daerah yang tersebar di Indonesia yang memiliki potensi. Mereka seharusnya bisa diserap menjadi tenaga-tenaga handal yang siap menjadi arsitek dunia transportasi penerbangan di Indonesia.
            Kemudian mengenai fasilitas atau alat-alat penerbangan yang sudah tidak layak tidak boleh dibiarkan. Hal ini juga masih menyangkut dengan pemerintah, seharusnya pemerintah lebih banyak memberikan anggaran terhadap hal ini dan diawasi kemana saja anggaran tersebut jangan hanya mengucurkan dana saja tetapi tidak tahu kemana arahnya dana tersebut. Peran transportasi udara yang sangat besar ini tentu saja hanya dapat diperoleh dengan dukungan berbagai pihak. Sudah saatnya transportasi udara menjadi prioritas utama dalam upaya meningkatkan pelayanan prasarana transportasi dan komunikasi di daerah-daerah perbatasan yang lebih baik . Saya yakin bahwa banyak investor yang dalam hal ini pengusaha transportasi udara yang berminat membuka jalur penerbangannya ke daerah-daerah perbatasan apabila faktor kebutuhannya juga tersedia.
            Dan yang tidak kalah penting adalah kemauan pemerintah sebagai pengambil keputusan untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang tepat menyangkut transportasi udara. Seluruh potensi economy di sektor transportasi udara harus dievaluasi dan dibenahi. Karena kalau tidak, maka percuma saja langkah efisiensi yang mati-matian dilakukan oleh pelaku usaha airlines .
            Selain itu perlu juga dikaji dan diteliti kemungkinan lain berupa inovasi-inovasi dalam transportasi udara. Inovasi disini tidak hanya menyangkut pembuatan pesawat sebagaimana yang dilakukan oleh IPTN, namun lebih luas dari itu termasuk juga didalamnya adalah pembuatan rute  penerbangan dalam negeri yang dapat menciptakan efisiensi dan keteraturan penerbangan nasional.
            Maka dengan adanya permasalaha tersebut, memperbaharui atau memaksimalkan industri penerbangan di Indonesia harus dilakukan. Dikarenakan sebagai landasan terwujudnya sebuah bandara penerbangan berkelas internasional dengan menberikan suatu pelayanan yang terbaik bagi para pengguna jasa airlines, sehingga kepercayaan masyarakat akan pengguna fasilitas industri penerbangan menjadi lebih optimal. Walaupun harus dengan cara bertahap, setidaknya untuk mewujudkan penerbangan nasional dengan kualitas bertaraf internasional dan yang mampu bersaing di pasar global. Namun, dalam hal mewujudkannya pemerintah harus mendukung dan memperbaiki kebijakanya guna mendukung perbaharuan industri penerbangan  maskapai nasional yang dapat bersaing di tingkat global dan mendorong sinergi bisnis di industry penerbangan melalui kerjasama komersial,dan aliansi yang akan saya lakukan setelah lulus kuliah nanti. 

Referensi :
http://www.liputan6.com/tag/maskapai-penerbangan

Tidak ada komentar :

Posting Komentar